Friday, May 18, 2012

Mencintai.


Dorongan untuk menulis bisa datang dari siapa dan kapan saja. Termasuk kali ini. Sekarang jam 23:30 WIB, dan saya terdorong menulis dikarenakan membaca beberapa twit dari salah seorang teman. Ini salah satunya yang sukses membuat saya diam, mencerna, membayangkan, dan flashback ke beberapa tahun yang lalu,

“Kamu bisa melupakan rasanya begitu dicintai seseorang. Tapi kamu tidak akan pernah lupa kalau kamu pernah begitu mencintai seseorang. J - @eljez, 2012

Begitu baca twit itu, langsung ada dua nama dan dua wajah di kepala saya. Yah, dua wajah pria yang pastinya dulu pernah saya cintai di masanya masing-masing. Malam ini saya mau mencoba menuangkan apa yang saya pikirkan dan rasakan. Yah, mungkin ini salah satu bagian dari sesi melakukan terapi pada diri sendiri. Hehe.

Pria pertama, atau bisa diberi inisial Z (bosen dari A, sekali2 dari belakang), mungkin bisa dibilang cinta pertama saya, walaupun bukan pacar pertama yah. Rasanya dicintai oleh Z itu, sangat berbunga-bunga. Karena Z adalah orang yang cukup ekspresif dan melankolis, maka ± 2,5 tahun waktu pacaran kami benar-benar dipenuhi oleh kata-kata indah, manis, saling menyampaikan puisi, dan berbagai ekspresi cinta lainnya. Itu nggak terlalu penting sih. Yang penting di tulisan kali ini adalah bagaimana rasanya mencintai seorang Z.

Jujur, jika saya diminta menjelaskan bagaimana rasanya mencintai Z, mungkin hampir nggak bisa diekspresikan ke dalam kata-kata. But, let me try.. Saya cinta Z. Z adalah pria pertama yang pernah saya berikan kata-kata “Aku cinta kamu”. Oh, fyi, di kamus hidup saya, “cinta”adalah level tertinggi dalam sebuah ungkapan hati. Jadi kalau dengan pacar-pacar yang lain mungkin nggak sampai level “cinta”, tapi baru “sayang”. Kayy, back to the topic. Yah, seingat saya dulu saya cinta banget sama Z. Bahkan saya sempat percaya bahwa Z adalah dunia bagi saya. Rasanya saya bisa membayangkan masa depan saya dengan Z pada saat itu. Dan, saya pun juga cinta dengan keluarganya – bapak, ibu, dan mbak2nya. Sampai sekarang pun saya masih menganggap mereka orang yang penting dalam kehidupan saya. Dan, saya masih ingat dengan jelas, bagaimana rasanya mencintai Z. rasanya begitu meluap-luap. Sepertinya rasa-rasa kecil di hati saya berebut untuk keluar. Yah, mungkin semacam ibu-ibu yang rebutan pas lagi ada pembagian sembako.

Lanjut. Pria kedua yang terlintas di kepala saya adalah X. Sedikit latar belakang, semua yang terjadi antara saya dan X adalah kejadian yang natural dan spontan. Dulu kami teman se-angkatan di fakultas, tapi sebenarnya kami nggak pernah main bareng. Cuma kenal biasa aja. Tapi yang lucu, kedekatan kami diawali saat suatu hari kami secara kebetulan lagi sama-sama nongkrong di ruang senat fakultas. Nggak ada yang spesial sih, cuma ngobrol dan bercanda2 antar teman. Ternyata obrolan itu yang membuka pintu chemistry kami masing-masing. Entah kenapa, rasanya seperti sudah akrab sejak lama. Rasanya dicintai oleh X itu nyaman. Ya, X adalah sosok pria yang genuine – apa adanya, tulus, nggak romantis, tapi sangat care dan peduli dengan saya. Dia bisa dengan tepat mengetahui bagaimana kondisi dan perasaan saya, tanpa saya mengatakan apa-apa. Walaupun dengan masa pacaran kami yang sangat singkat, ± 1 bulan saja, tapi ternyata kualitas hubungan kami cukup dalam di hati saya.

Rasanya mencintai X itu nyaman, natural, spontan, dan jujur. Di depan X lah saya bisa dengan leluasa menyampaikan apa yang saya rasakan. Ketika saya mencintai X, saya bisa jujur dengan diri saya dan dirinya mengenai apa yang saya rasakan. Dan saya, yang notabene agak ‘gila’ soal perencanaan di setiap hal, bisa menjadi orang yang sangat spontan saat bersama X. Rasanya mencintai X itu menyegarkan, dan membuat saya jadi kecanduan. Dan, ya, perasaan saya terhadap X pun sudah sampai level “cinta”.

Dua orang pria yang tadi saya bahas adalah dua pria yang mendapat kehormatan tertinggi di hati saya, karena hanya mereka lah yang sampai saat saya menulis ini, yang bisa mencapai level “cinta”. Dan lucunya, setelah saya menjomblo lagi ± 4 bulan belakangan ini, mereka berdua lah yang hadir kembali ke kehidupan saya, dengan caranya masing-masing.

Z hadir saat saya baru saja putus dengan pacar terakhir saya. Dia ada disana saat saya butuh seseorang yang mau mendengarkan. Dia ada disana saat saya meneteskan beberapa airmata. Z seperti penghibur, pengobat luka, pendengar yang tulus bagi saya. Dengan hanya duduk disamping saya dan tersenyum, ia mampu membuat saya menumpahkan segala emosi yang terpendam beberapa tahun.
X hadir beberapa waktu yang lalu. Selama ± 2 minggu kami kembali berhubungan intens dan melepas rindu. Dia seperti sebuah liburan untuk saya. Ya, selama 2 minggu saya merasa sedang liburan. Karena bersama X saya bisa bersenang-senang, melakukan hal-hal yang spontan, tertawa, cerita panjang lebar, saling memperhatikan satu sama lain setiap hari, dan lainnya. Mungkin rasanya seperti kembali memiliki pacar selama 2 minggu. Namun sama seperti konsep liburan yang sebenarnya, pertemuan kami hanya dirancang untuk beberapa waktu yang singkat, karena kami sama-sama harus kembali ke dunia nyata. Dimana realita menunggu kami kembali untuk menapak ke bumi.

Tapi saat ini, saya merasa bahwa Tuhan sudah merancang ini semua. Entah kenapa, saya merasa Tuhan mengirim mereka kembali ke hidup saya bukan untuk benar-benar kembali, tetapi untuk menyelesaikan segala unfinished business yang masih ada di antara kami. Mungkin Tuhan mau saya benar-benar menyelesaikan semua yang masih mengganjal di hati saya, sebelum akhirnya Ia memberikan seorang pria-masa-depan untuk saya.

Memang rasanya sulit untuk berhadapan kembali dengan Z dan X, karena dulu saya pernah sangat mencintai mereka. Dan saya yakin, apa yang saya miliki dengan mereka ini timeless. Rasa itu mungkin tetap ada, dan akan selalu ada. Hanya saja, rasa untuk mereka akan punya lacinya masing-masing di hati saya, dan mereka akan tetap berdiam disitu karena kuncinya sudah saya simpan di otak saya.

Saat ini, saya berharap saya sudah bisa mulai melakukan filing, mulai memasukkan rasa itu ke dalam lacinya masing-masing, dan segera memberikan kuncinya kepada sang otak. Saya yakin, saya sudah mulai melakukan tahap itu. Mari membantu saya dengan sama-sama berdoa, proses filing-nya bisa berjalan dengan lancar dan rapi. J


Good night, good people!

No comments:

Post a Comment